STRATEGI KEBUDAYAAN
Memahami
kebudayaan secara luas, tentu tidak sebatas kegiatan kesenian, peninggalan
sejarah, upacara tradisional, atau hukum adat semata.
Kebudayaan
pada dasarnya suatu sistem pengetahuan dan gagasan yang dimiliki suatu kelompok
masyarakat yang berfungsi sebagai pedoman mereka bersikap dan berperilaku.
Seiring
dengan arus globalisasi, nampaknya kebudayaan kita (bangsa Indonesia) masih
belum siap menghadapinya. Mau kembali ke masa lalu : tidak mungkin, menuju ke
masa depan : bingung. Kita cenderung konsumtif mengambil makna simbolik yang
instant seperti fanatisme terhadap budaya K-Pop (Korea), film-film India,
maupun pada hal-hal yang berbau asing atau Western.
Lalu,
kebudayaan Indonesia mau dibawa ke mana? Ciri-ciri atau tanda-tanda globalisasi
antara lain pasar bebas, tuntutan Hak Asasai Manusia, isu lingkungan hidup,
maupun arus informasi ke semua belahan negara melalui media sosial baik
tweeter, facebook, BBM-an, atau sarana lainnya.
Terhadap
arus informasi yang tak bis dibendung itu, suka – tidak suka, siap – tidak
siap, mau – tidak mau, kita harus menghadapinya. Tidak ada batas-batas dalam
berkomunikasi antar negara, meski secara fisik masih ada batas-batas negara.
Cara
pandang atau strategi negara kita dalam membangun pada masa lalu, menurut
Mahfud MD (menyitir pernyataan Mustofa Bisri), perlu menjadi pembelajaran kita
bersama. Memandang ekonomi sebagai panglima pada masa Orde Baru telah
melahirkan “Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme” yang akarnya tidak mudah
dimusnahkan hingga Masa Reformasi sekarang ini.
Memandang
politik sebagai panglima pada Masa Bung Karno (tahun 1965-an) juga telah gagal
membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berbudaya dan sejahtera. Oleh karena
itu kita butuh alternatif cara pandang atau strategi yang lain dalam membangun
negara ini, yakni melalui “Strategi Kebudayaan Menuju Kemandirian Budaya Bangsa
Indonesia”.
Ini
merupakan pidato kebudayaan beliau pada acara Kebangkitan Nasional 2013 Membaca
Puisi Membaca Indonesia, Selasa Pon 14 Mei 2013 pukul 19.30 WIB-selesai di
Tembi RUMAH BUDAYA (Jl. Parangtritis Km. 8,4, Timbulharjo, Sewon, Bantul,
Yogyakarta).
Inti
pidato beliau adalah bangsa Indonesia tengah kehilangan arah, kehilangan jati
dirinya sebagai “WHO AM I?”.
Bangsa ini
telah mengalami 4D, yakni Disorientasi Budaya, Dismotivasi Budaya, Disfungsi
Budaya, dan Dependensi Budaya.
Disorientasi
Budaya dialami bangsa ini, karena budaya kita berorientasi tidak jelas, mau
dibawa ke mana? Dismotivasi Budaya ditunjukkan bangsa ini, karena budaya kita
tengah kehilangan motivasi luhur dan unggul dalam menentukan dan menjalankan
langkah-langkahnya ke depan.
Disfungsi
Budaya bangsa ini tercermin dari proses degradasi fungsi budaya akibat korban
proses komersialisasi (industri hiburan dan industru wisata) serta politisasi
sesaat para politisi. Dependensi budaya bangsa ini diperlihatkan dengan
ketergantungan kita pada budaya global dibawah kendali rezim budaya Amerika,
Eropa, Jepang, Cina, India, dan Korea.
Dalam hal
agama, budaya kita mulai berada dibawah kendali rezim budaya Arab-Mesir
puritan. Itulah kondisi obyektif bangsa Indonesia saat ini, jika ditilik dari
sudut kebudayaan.
Untuk
mengatasi keadaan itu, bangsa Indonesia masih memiliki potensi obyektif berupa
potensi historis, potensi cita-cita (sosial dan individual), potensi
infrastruktur budaya, serta potensi semangat kemandirian. Potensi historis :
kita bagian dari sejarah Nusantara yang besar, jaya dan menyejahterakan rakyat.
Dari sejarah Nusantara, kita dapat belajar banyak dari kekuatan kerajaan
maritim yang terbentang dari Aceh sampai Maluku. Kita dapat pula belajar darai
kerajaan agraris di Pulau Jawa, dan dari kerajaan maritim-agraris-agamis dari
berbagai kerajaan yang beribukota di pantai-pantai atau di pinggir
sungai-sungai besar.
Potensi
cita-cita baik individual maupun sosial tercermin dalam sastra tutur
(peribahasa) maupun sastra tulis yang jumlahnya sangat banyak, termasuk dalam
sastra pertunjukan yang hidup di berbagai pelosok Nusantara maupun dalam
puisi-puisi.
Potensi
infrastruktur budaya bangsa Indonesia meliputi :
(1)
kerajaan-kerajaan Nusantara (2) kitab-kitab Nusantara (3) tempat ibadah dan
makam-makam Nusantara (4) museum-museum Nusantara (5) lembaga-lembaga
pendidikan, dengan sistem pesantren maupun persekolahan dari semua tingkatan
(6) kelompok-kelompok dan komunitas kesenian dan kebudayaan daerah (7) ormas
dan LSM pendukung budaya dan seni Nusantara dan Indonesia (8) tokoh-tokoh
budayawan dan seniman Nusantara dan Indonesia (9) perpustakaan-perpustakaan
(10) gedung-gedung, galeri-galeri, balai-balai budaya, pendapa-pendapa,
sanggar-sanggar kesenian, auditorium, plaza-plaza, dan hall-hall (11)
penerbit-penerbit (12) studio rekaman auditif, audio visual dan visual Potensi
semangat kemandirian budaya bangsa ini ditunjukkan sebagai semangat perlawanan
kebudayaan.
Ketika
terjadi “perang kuliner” melawan kuliner yang berasal dari Amerika, Eropa,
Cina, Jepang, Korea, masyarakat kita pun merespon dengan terus membangun rumah
makan masakan Minang (Padang), pecel Madiun, Gudeg Yogya, aneka soto khas
lokal/daerah, aneka sate, ikan pepes
Sunda, kue-kue khas daerah, bakmi Jawa, bakmi Jakarta, aneka martabak, dan
aneka minuman daerah seperti bajigur, serbat, secang, dan sebagainya.
Perlawanan
budaya juga nampak pada “perang pertunjukan”
budaya tradisi melawan budaya
asing yang bersifat global. Strategi apakah yang harus kita lakukan untuk
kembali menumbuhkembangkan kebudayaan kita sendiri?
- Strategi pertama : Integrasi Budaya, yakni menyatukan ide Nusantara dengan ide Indonesia. Nusantara sebagai akar sekaligus ruh dari kebudayaan Indonesia. Integrasi antara budaya dan seni berbasis maritim-agraris dengan berbasisi industri juga perlu kita lakukan. Integrasi cita-cita seni budaya yang berorientasi pada masa silam, masa depan dan keperluan kita hari ini.
- Strategi kedua : Strategi Transformasi Budaya, yakni memanfaatkan atau mengolah khazanah budaya lama yang kita miliki untuk keperluan kita hari ini dan masa depan, atau dalam bahasa Islam ini disebut dengan “Ijtihad Budaya”.
- Strategi ketiga : Strategi Komunikasi dan Produksi Budaya, yakni mempresentasikan dan memproduksi karya-karya budaya dan seni sebanyak-banyaknya, hingga kita mampu mengekspor karya-karya tersebut.
- Strategi keempat : Strategi Independensi Budaya, yakni strategi kemandirian budaya kita sendiri. Ini merupakan pilihan untuk membangun budaya yang berakar pada budaya Nusantara dan Indonesia dissesuaikan dengan kondisi dan tuntutan jaman.
Komentar
Posting Komentar